
Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Mahasiswa
Yogyakarta, 16 Juni 2013. Indonesia
kembali dihadapkan pada permasalahan subsidi BBM yang akan segera
dikurangi, atau bahkan dicabut untuk menyesuaikan permasalahan fiskal
dan ekonomi makro negara ini. Pemerintah berdalih bahwa Indonesia adalah
negara pengimpor minyak mentah untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Lifting minyak Indonesia adalah 840.000 barrel/hari (Kementrian ESDM,
13/5/2013), sedangkan kebutuhan dalam negeri Indonesia diperkirakan
1.400.000 barrel/hari. Kondisi ini yang membuat APBN bisa jebol karena
subsidi BBM yang masih disubsidi.
Sedangkan fakta di lapangan, Pertamina
hanya menguasai ladang minyak untuk eksplorasi sebanyak 20% dari seluruh
ladang minyak di Indonesia. 80% dikuasai oleh asing. Sehingga Indonesia
harus mengimpor minyak dengan harga yang mengikuti harga BBM
internasional.
Pertanyaan lebih lanjut adalah apa
penyebab dan dampak dari kebijakan dikuranginya dan bahkan dicabutnya
subsidi BBM di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu ada
analisa persepktif sejarah industri hulu dan hilir, serta logika yang
memberi orientasi kebijakan tersebut.
Agenda ekonomi pasar neoliberal sebagaimana tercantum dalam paradigma Letter of Intents (LoI) antara Indonesia dan IMF (International Monetary Found) yang ditandatangi 20 Januari 2000 adalah reformasi strukural dengan cara berikut:
- Penyelenggaraan anggaran ketat dan penghapusan subsidi
- Liberalisasi sektor kuangan
- Liberalisasi sektor perdagangan
- Pelaksanaan privatisasi BUMN
Hal tersebut sejalan dengan
pendekatan neo-institusionalisme (Umar, 2012) yang mengisyaratkan
penggunaan paradigma neoliberal dalam pengelolaan negara (Hadiz, 2004).
Gill (2000) mengistilahkanya dengan “constitutionalism of disciplinary neoliberalism”, dengan bertumpu pada reformasi struktural pasca krisis, terutama Indonesia pasca oil boom
tahun 1980-an (Chaniago, 2013), untuk negara-negara berkembang.
Pendekatan ini mengaplikasikan perangkat legal-struktural negara untuk
memastikan pasar berjalan secara efektif, yaitu dengan UU Migas. Pada
hakikatnya, negara memberikan kepada individu untuk menyelenggarakan
perekonomian yang berbasis pada mekanisme pasar.
Pada hakikatnya, semua regulasi dan
logika kebijakan yang mengatur soal energi, dan juga soal sektor lainya
adalah bagian dari paradigma berpikir Washigton Consensus (Williamson, 2004), yaitu disiplin anggaran pemerintah dan liberalisasi sektor Migas di Indonesia.
Sejarah sudah membuktikan dengan
liberalisasi sektor hulu Migas, dimana Pertamina hanya menguasai 20%
ladang minyak di Indonsia. Dan saat ini sedang berusaha untuk
implementasi liberalisasi sektor hilir Migas dengan persaingan harga
yang kompetitif antara Pertamina dan perusahaan swasta asing di ranah
tersebut.
Pertanyaan lebih lanjut adalah siapa yang
diuntungkan? Pastinya bukan rakyat. Mengapa hal tersebut bisa saya
katakan, karena logika dan implementasi kebijakan tersebut
inkonstitusional. UUD 1945 pasal 33, ayat 3 yang mengamanatkan bahwa
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Apabila
amanat konstitusi ini ditegakkan pasti rakyat keseluruhan akan
diuntungkan, bukan menghasilkan keuntungan parsial para pemilik modal.
Kenaikan harga BBM yang dipicu
dikuranginya subsidi dinilai hanya menjadi alasan untuk memudahkan
kepentingan asing menguasai cabang produksi yang menguasai hidup rakyat
kebanyakan, yaitu minyak dan gas bumi Indoneisa. Kami ingin agar subdisi
tetap ada dilaksanakan untuk tetap menjaga keselamatan ide demokrasi
ekonomi dan ekonomi kerakyatan sesuai amanat pasal 33 UUD 1945. Kami,
BEM Seluruh Indonesia, dengan ini menolak dengan tegas kenaikan
harga BBM karena kami menilai hanya menjadi alasan untuk memudahkan
kepentingan asing menguasai cabang produksi yang menguasai hidup rakyat
kebanyakan, yaitu minyak dan gas bumi seperti yang diamanatkan Letter of Intents (LoI) antara Indonesia dan IMF (International Monetary Found). Selain itu, alasan kami jelas mengapa kami harus menolak kebijakan pengurangan subdisi BBM karena:
- Pemerintah meminggirkan ide Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Kerakyatan yang telah diatur dalam pasal 33 UUD 1945 tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial
- Pemerintah lebih memikirkan kaum pemodal, pemodal asing dan kalangan atas masyarakat dalam kebijakan harga BBM dan semua paradigma yang melandasinya
- Pemerintah gagal melakukan diversifikasi energi bahkan tidak menunjukan keberpihakan pada pengembangan energi alternatif untuk mengganti semua energi fosil yang akan segera habis
- Pemerintah tidak memiliki keinginan serius untuk membangun infrastruktur transportasi publik yang berkualitas dibutuhkan rakyat banyak untuk menekan kendaraan bermotor, bukan dengan cara membebani rakyatnya sendiri dengan mengurangi subsidi BBM.
- Pemerintah gagal menekan tingginya konsumsi BBM yang terjadi pada masyarakat.
- Pemerintah gagal membangun transparansi terkait biaya produksi premium dan mengilangkan permainan kartel BBM
- Terkait dengan penyelamatan APBN, pemerintah gagal membangun prioritas pemangkasan karena yang harus dipangkas adalah beban bunga obligasi BLBI, biaya birokrasi/pejabat, dan praktek korupsi
- Pemerintah justru gagal memberantas korupsi yang telah merampok APBN
- Bahwa upaya pemerintah menaikan harga BBM tidak lepas dari upaya liberalisasi BBM di sektor hilir
- Kebijakan kenaikan BBM untuk sebagian masyarakat berarti pemerintah telah dengan sengaja membangun pertentangan dan konflik horizontal di tengah masyarakat yang berakibat adanya potensi disintegrasi sosial.
Mahasiswa bergerak untuk membela
rakyat kebanyakan, rakyat kecil yang tertindas (mustadh’afin), bukan
untuk membela dan berada di barisan kaum elit, swasta asing, dan
koruptor. Oleh karena itu, kami akan bergerak untuk menolak kebijakan
pengurangan subdisi BBM yang hanya merugikan bagi mereka yang kecil dan
tertindas di Indonesia. Hidup mahasiswa Indonesia! Hidup rakyat
Indonesia!
Koordinator Pusat BEM Seluruh Indonesia
sumber : http://bemkm.student.uny.ac.id/2013/06/17/draft-rilis-pernyataan-sikap-menolak-kenaikan-bbm-bem-si/

0 komentar:
Posting Komentar